Di balik riuhnya demonstrasi di ibu kota, ada mata-mata negara yang bekerja dalam senyap. Namun, apa jadinya jika mereka “tertangkap kamera”? Insiden penangkapan seorang pria yang diduga anggota Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI oleh anggota Brimob saat demonstrasi di Jakarta Pusat memicu perdebatan sengit: sejauh mana perlindungan hukum bagi intelijen negara, dan bagaimana batasan kebebasan informasi di era digital?
Gaperta.online-Dok
Wakil Panglima TNI, Jenderal TNI Tandyo Budi Revita, menegaskan bahwa kegiatan intelijen di tengah masyarakat, termasuk saat demonstrasi, adalah hal yang wajar dan dilindungi undang-undang.
Gaperta.online-Dok
“Namanya orang memberikan informasi, kita harus masuk ke dalam, ikut kegiatan mereka,” ujar Jenderal TNI Tandyo Budi Revita kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Senin (1/9/2025). “Dalam konteks demonstrasi, intelijen mungkin menyamar sebagai peserta, bahkan ikut menyuarakan aspirasi yang sama, untuk memahami dinamika, tuntutan, dan potensi ancaman. Ini adalah bagian dari upaya menjaga keamanan nasional.”
Gaperta.online-Dok
Tandyo menyayangkan beredarnya informasi mengenai penangkapan tersebut dan menekankan pentingnya menjaga kerahasiaan identitas intelijen. “Begitu ditangkap kemudian keluar seperti itu, harusnya yang menangkap itu tidak menyebarkan, karena kan intelijen,” tegasnya. Ia menjelaskan bahwa pengungkapan identitas dapat membahayakan keselamatan intelijen dan menghambat pelaksanaan tugasnya. “Contohnya, bayangkan jika seorang intelijen ditugaskan untuk mengumpulkan informasi tentang kelompok radikal yang merencanakan aksi teror. Jika identitasnya terungkap, bukan hanya misinya gagal, tetapi nyawanya pun terancam.”
Jenderal Tandyo menolak berkomentar lebih lanjut saat wartawan meminta konfirmasi mengenai identitas pria yang ditangkap. Sikap ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, yang secara tegas melindungi identitas agen, sumber informasi, dan personel intelijen lainnya. Pasal 12 ayat (1) UU tersebut menyatakan bahwa pengungkapan identitas intelijen hanya dapat dilakukan atas izin tertulis dari Kepala Badan Intelijen Negara.
Selain itu, TNI juga mengingatkan masyarakat akan potensi jerat hukum UU ITE terkait penyebaran informasi yang tidak benar atau dapat membahayakan keselamatan intelijen. Pasal 42 ayat (1) UU ITE melarang penyebaran informasi yang bersifat fitnah atau pencemaran nama baik. “Contohnya, menyebarkan foto seorang intelijen yang sedang menyamar dengan narasi yang menuduhnya sebagai provokator kerusuhan, padahal ia hanya menjalankan tugas pengumpulan informasi, adalah tindakan yang melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana,” tegas seorang juru bicara TNI.
TNI mengimbau masyarakat untuk bijak dalam menggunakan media sosial dan tidak menyebarkan informasi yang belum terverifikasi kebenarannya. Jika menemukan informasi yang mencurigakan, sebaiknya dikonfirmasikan kepada pihak kepolisian atau instansi terkait untuk menghindari pelanggaran hukum.
Sebagai penutup, insiden ini menjadi pengingat bahwa di balik layar, ada pahlawan tanpa tanda jasa yang berjuang demi keamanan negara. Mari kita hargai kerja keras mereka dengan tidak menyebarkan informasi yang dapat membahayakan diri mereka dan negara.