Direktur Eksekutif Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina), Muhammad Nur, S.H., menyoroti polemik rekomtek di Aceh Barat. Ia menilai DPRK dan Bupati Aceh Barat terlalu cepat menyimpulkan masalah rekomtek tanpa memahami konteks hukum yang berlaku. Alih-alih mencari solusi konstruktif, yang muncul justru narasi yang cenderung menghukum dan kurang bijaksana.
“Rekomtek itu diperlukan untuk aktivitas galian batuan dan pasir dengan area maksimal dua hektar. Sementara, kasus yang diperdebatkan ini mencakup area hingga 24 kilometer. Jadi, tidak bisa serta-merta diberikan sanksi hukum, apalagi saat izin dikeluarkan, persyaratan rekomtek seperti yang dipaksakan saat ini belum ada,” jelas Muhammad Nur.
Ia menegaskan bahwa perusahaan terkait bersedia menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku. Namun, pemberian sanksi tidak bisa dilakukan hanya berdasarkan persepsi negatif yang sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu. “Ada oknum yang memanfaatkan isu ini untuk kepentingan pribadi,” imbuhnya.
Muhammad Nur juga menyayangkan bahwa Bupati dan DPRK Aceh Barat belum berupaya melakukan dialog atau pemanggilan resmi untuk membahas penafsiran rekomtek ini. Padahal, jika revisi dianggap perlu, masalah ini seharusnya dikomunikasikan dengan Balai Wilayah Sungai (BWS).
“Seharusnya, Bupati dan DPRK mengundang pihak terkait untuk membahas poin-poin yang perlu direvisi. Faktanya, hingga kini belum ada ketentuan yang jelas. Bahkan, jika ditelusuri, tidak ada satu pun perusahaan di Aceh Barat yang bergerak di bidang tambang emas, batu bara, atau galian batuan dan pasir di sepanjang aliran Sungai Meureubo, Kaway XVI, hingga Pante Ceureumen yang memiliki rekomtek dari BWS. Jadi, penertiban harus dilakukan secara adil dan merata,” tegasnya.