Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina) mendesak Pemerintah Aceh untuk tidak hanya berhenti pada ultimatum terhadap tambang ilegal. Direktur Forbina, Muhammad Nur, S.H., menekankan perlunya percepatan penyusunan Qanun tentang Pertambangan Wilayah Rakyat (WPR).
Regulasi ini krusial untuk mentransformasi tambang ilegal menjadi legal, sekaligus memberikan solusi konkret bagi masyarakat yang bergantung pada sektor pertambangan.
Menurut Muhammad Nur, ketiadaan Qanun atau Pergub yang mengatur mekanisme perizinan tambang rakyat di Aceh menjadi masalah mendesak, terutama setelah ultimatum Gubernur Aceh (Mualem).
Forbina menawarkan solusi strategis: menjadikan PT PEMA sebagai BUMD Aceh yang berperan sebagai fasilitator dan mitra kerja masyarakat.
Lahan bekas tambang ilegal dapat dikelola melalui skema kerja sama antara PT PEMA dan masyarakat, seperti join venture atau bagi hasil.
Model ini memastikan keberlanjutan penghidupan masyarakat dan memberikan pendapatan yang sah bagi daerah dari sektor pertambangan.
“PT PEMA harus mengalokasikan anggaran untuk melegalisasi wilayah tambang rakyat. Emas yang dihasilkan sebaiknya dibeli langsung oleh PEMA sebagai offtaker resmi, dengan pencatatan yang transparan agar hasilnya masuk ke kas daerah,” tegas Muhammad Nur.
Forbina juga mendorong kewajiban bersama dalam biaya jaminan reklamasi pascatambang. Setelah eksploitasi emas, lokasi tambang wajib direhabilitasi menjadi hutan kembali.
Skema ini menjamin pengelolaan tambang rakyat yang berkelanjutan, baik dari segi ekonomi maupun lingkungan.
Kebijakan ini berpotensi menjadi sumber pendapatan baru bagi Aceh, di luar dana otonomi khusus. “Dengan regulasi yang jelas dan peran aktif PEMA, tambang rakyat dapat menjadi sektor bisnis yang sehat, menguntungkan rakyat, daerah, dan menjaga lingkungan,” imbuhnya.
Forbina menilai bahwa tambang rakyat tidak memerlukan teknologi canggih. Sebagian besar hanya mengandalkan peralatan sederhana seperti mesin pencucian atau pendulangan emas.
Oleh karena itu, PT PEMA cukup memberikan fasilitasi modal, teknologi dasar, dan manajemen usaha. Dengan pendekatan ini, tambang rakyat dapat bertransformasi menjadi bisnis kolaborasi yang legal dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.
“Jika sistem tambang besar dipaksakan ke tambang rakyat, masyarakat akan kesulitan mengurus izinnya. Perlu mekanisme yang lebih sederhana, cepat, dan sesuai dengan skala tambang rakyat,” jelas Muhammad Nur.
Forbina menekankan pentingnya jaminan reklamasi pascatambang sebagai bagian integral dari pengelolaan yang bertanggung jawab.
Muhammad Nur juga menyoroti momentum pembahasan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh yang belum disahkan.
Regulasi pertambangan rakyat sebaiknya diintegrasikan ke dalam RTRW sebelum pengesahan, sehingga menjadi bagian tak terpisahkan dari tata kelola ruang dan sumber daya alam Aceh.
Forbina menegaskan bahwa ini adalah tawaran solusi nyata. Pemerintah Aceh, khususnya Gubernur Mualem, diharapkan segera mengambil langkah konkret agar tidak terjebak dalam kebijakan yang kontradiktif.
“Jika tidak ada perubahan, ultimatum tambang ilegal tanpa solusi akan menurunkan wibawa gubernur. Regulasi tambang rakyat harus segera diterbitkan agar Aceh dapat mengelola sumber daya alamnya secara bermartabat,” tegas Muhammad Nur.
Forbina meyakini bahwa dengan regulasi yang baik dan peran aktif PT PEMA, tambang emas Aceh akan menjadi sumber pendapatan baru di luar dana Otsus, sekaligus memperkuat kemandirian ekonomi rakyat.