“Diduga Langgar Aturan, Pengangkatan Pejabat Pemkot Depok Berujung Laporan ke Ombudsman”

banner 120x600
banner 468x60

Depok,

Dugaan maladministrasi dalam pengangkatan pejabat di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Depok menyeret Wali Kota Depok ke Ombudsman Republik Indonesia (RI).

Laporan ini diajukan terkait dugaan pelanggaran peraturan perundang-undangan dalam proses pengangkatan sejumlah pejabat.

Pengangkatan pejabat di lingkungan instansi pemerintah wajib berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku demi mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, profesional, dan berintegritas.

Aparatur Sipil Negara (ASN) memiliki peran strategis sebagai pelaksana kebijakan publik, penyelenggara pelayanan publik, serta perekat dan pemersatu bangsa. Standar kualifikasi, kompetensi, dan integritas menjadi hal yang mutlak.

Namun, muncul indikasi praktik pengangkatan pejabat struktural di lingkungan Pemkot Depok yang diduga tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan hukum.

Beberapa pejabat diketahui menduduki posisi strategis tanpa memiliki kualifikasi pendidikan minimal yang dipersyaratkan dalam regulasi.

Temuan ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil dan PP Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.

Kedua aturan tersebut secara tegas mengatur bahwa pengisian jabatan harus memperhatikan persyaratan pendidikan, kompetensi, serta kepangkatan tertentu.

Pelanggaran terhadap regulasi ini tidak hanya berpotensi menimbulkan maladministrasi, tetapi juga melemahkan prinsip meritokrasi yang menjadi fondasi utama birokrasi modern.

Kondisi ini membuka ruang praktik nepotisme, menurunkan kualitas pelayanan publik, serta berpotensi menggerus kepercayaan masyarakat terhadap profesionalisme aparatur pemerintah.

Dewan Pimpinan Daerah Lembaga Peduli Hukum Indonesia (DPD LPHI) Jawa Barat menyoroti persoalan ini.

Teguh Fitrianto Widodo, S.H., selaku perwakilan DPD LPHI, menyatakan bahwa proses rotasi dan mutasi pejabat di lingkungan Pemkot Depok terindikasi mengandung maladministrasi.

“Hal ini jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 54 ayat (1) PP 11/2017 yang menyebutkan bahwa pengisian jabatan harus memenuhi persyaratan kompetensi, kualifikasi, dan kepangkatan. Selain itu, Pasal 107 ayat (2) juga mengatur syarat minimal pendidikan untuk menduduki jabatan administrasi tertentu, yakni paling rendah Diploma Tiga (D-III) atau Sarjana (S1) sesuai jenjang jabatan,” ujar Teguh.

Teguh menambahkan, ada pejabat yang diangkat langsung meskipun hanya lulusan SMA dan D3 pada jabatan tertentu.

Hal ini dinilai bertentangan dengan aturan yang ada. Proses pengangkatan pejabat juga diduga melanggar PP Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, khususnya Pasal 96 ayat (2) yang menyebutkan bahwa pejabat struktural wajib memenuhi kualifikasi pendidikan, kompetensi teknis, serta rekam jejak jabatan yang sesuai.

Dugaan pelanggaran juga menyasar Surat Edaran Badan Kepegawaian Nasional Nomor K.26.30/V.152-55/99 tertanggal 21 Agustus 2018 tentang Pengisian Jabatan Administrator (eselon III.a dan III.b) serta Jabatan Pengawas (eselon IV.a dan IV.b).

Surat edaran ini secara tegas menekankan pentingnya standar minimal pendidikan dan kompetensi teknis yang tidak bisa ditawar.

DPD LPHI Jawa Barat telah melaporkan Wali Kota Depok, Dr. Supian Suri, M.Si., Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kota Depok, serta Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) Kota Depok ke Ombudsman RI.

Langkah ini ditempuh karena diduga terjadi penyalahgunaan wewenang dalam pengangkatan sejumlah pejabat eselon di lingkungan Pemkot Depok.

Dalam laporan tersebut, DPD LPHI menyertakan bukti berupa data kualifikasi pendidikan pejabat yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Prinsip meritokrasi dalam birokrasi seharusnya menjadi dasar utama dalam proses promosi, rotasi, dan mutasi jabatan.

Meritokrasi memastikan bahwa jabatan publik diisi oleh orang-orang yang memang layak secara kompetensi, pendidikan, dan rekam jejak profesional.

Jika pengangkatan pejabat dilakukan dengan mengabaikan standar minimal pendidikan, maka akan menimbulkan keraguan mengenai profesionalisme aparatur dan berdampak pada kualitas pelayanan publik.

Praktik ini bisa menjadi preseden buruk dan menghancurkan meritokrasi serta kepercayaan publik terhadap sistem birokrasi.

Pengangkatan pejabat tanpa memperhatikan aturan membuka celah bagi praktik nepotisme, di mana pejabat bisa saja ditempatkan berdasarkan kedekatan personal, politik, atau kepentingan tertentu, bukan berdasarkan kompetensi.

Kasus dugaan maladministrasi di Pemkot Depok ini berpotensi besar menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap aparatur pemerintah. Kepercayaan masyarakat merupakan modal penting dalam menjalankan kebijakan publik.

Selain itu, masalah ini dapat menjadi pintu masuk bagi aparat penegak hukum untuk menelusuri lebih jauh potensi adanya pelanggaran pidana dalam proses pengangkatan pejabat.

Masyarakat berharap Ombudsman RI dapat segera menindaklanjuti laporan DPD LPHI Jawa Barat dengan melakukan pemeriksaan mendalam.

Pemerintah Kota Depok diharapkan tidak menutup mata terhadap persoalan ini dan perlu berbenah dengan memastikan seluruh proses pengangkatan pejabat berjalan sesuai aturan hukum, transparan, dan akuntabel.

banner 325x300
error: Content is protected !!