Gubernur Riau Abdul Wahid Jadi Tersangka KPK: Diduga Peras Pejabat Dinas PUPR PKPP Riau

banner 120x600
banner 468x60

Jakarta,

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan terhadap para kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) di Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau.

Modus Operandi: ‘Jatah Preman’ untuk Gubernur

Menurut KPK, Abdul Wahid diduga meminta setoran dari para kepala UPT sebagai imbalan atas penambahan anggaran pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. Awalnya, disepakati “fee” sebesar 2,5% dari penambahan anggaran, namun kemudian dinaikkan menjadi 5% atau sekitar Rp7 miliar. Permintaan ini dikenal dengan istilah “jatah preman” di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau.

Total Setoran dan Sumber Dana

Sejak Juni hingga November 2025, terjadi tiga kali setoran dengan total mencapai Rp4,05 miliar. Uang tersebut bukan berasal dari proyek atau pihak swasta, melainkan dari pinjaman pribadi para kepala UPT. Beberapa di antaranya bahkan menggunakan uang sendiri, pinjaman bank, atau menggadaikan sertifikat.

Ironi Defisit APBD Riau

Kasus ini mencuat di tengah kondisi keuangan daerah yang defisit. Pada Maret 2025, Abdul Wahid sendiri mengumumkan bahwa APBD Riau mengalami defisit hingga Rp3,5 triliun. KPK menilai bahwa tindakan meminta setoran dari bawahan justru menambah beban di tengah kondisi sulit.

Kronologi Kasus dan Pertemuan di Kafe

Kasus ini bermula dari laporan masyarakat. Pada Mei 2025, Sekretaris Dinas PUPR PKPP (FRY) mengadakan pertemuan dengan 6 Kepala UPT Wilayah I-VI untuk membahas kesanggupan pemberian “fee” kepada Abdul Wahid. Fee tersebut terkait dengan penambahan anggaran UPT Jalan dan Jembatan dari Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar.

Ancaman Mutasi dan Istilah ‘7 Batang’

Kepala Dinas PUPR PKPP (MAS), yang merepresentasikan gubernur, meminta agar besaran fee dinaikkan menjadi 5% atau Rp7 miliar. Bagi yang tidak menuruti perintah, diancam dengan pencopotan atau mutasi jabatan. Hasil pertemuan tersebut kemudian dilaporkan kepada MAS dengan kode ‘7 batang’.

Rincian Aliran Dana

– Setoran Pertama: FRY mengumpulkan Rp1,6 miliar. Atas perintah MAS, Rp1 miliar dialirkan kepada Abdul Wahid melalui DAN (Tenaga Ahli Gubernur), dan Rp600 juta diberikan kepada kerabat MAS.

– Setoran Kedua: FRY kembali mengumpulkan Rp1,2 miliar. Atas perintah MAS, uang tersebut didistribusikan untuk driver MAS (Rp300 juta), proposal kegiatan perangkat daerah (Rp375 juta), dan disimpan oleh FRY (Rp300 juta).

– Setoran Ketiga: Kepala UPT 3 mengumpulkan Rp1,25 miliar. Sebagian dialirkan untuk Abdul Wahid melalui MAS (Rp450 juta) dan diduga langsung kepada Abdul Wahid (Rp800 juta).

Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK

Pada Senin, 3 November 2025, Tim KPK melakukan OTT dan mengamankan MAS, FRY, serta lima Kepala UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I, III, IV, V, VI Dinas PUPR PKPP. KPK juga mengamankan barang bukti berupa uang tunai Rp800 juta.

Dana Diduga untuk Perjalanan ke Luar Negeri

KPK menduga uang setoran digunakan untuk membiayai perjalanan Abdul Wahid ke luar negeri. Dana tersebut dikelola oleh DAN. Salah satu perjalanan yang sudah terlaksana adalah ke London, Inggris. KPK menyita mata uang pound sterling sebagai salah satu barang bukti. Selain ke Inggris, Abdul Wahid juga diketahui sudah bepergian ke Brasil dan berencana ke Malaysia.

Arahan ‘Tegak Lurus pada Matahari’

KPK mengungkap bahwa Abdul Wahid sempat mengumpulkan seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan menegaskan bahwa semua kebijakan harus “tegak lurus pada matahari.” Arahan ini diartikan oleh para kepala UPT dan pejabat lainnya sebagai ancaman mutasi atau pencopotan jabatan bagi yang tidak patuh.

Bantahan Wakil Gubernur

Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau, SF Hariyanto, membantah dirinya menjadi saksi pelapor dalam kasus ini. Ia mengaku tidak tahu-menahu soal kasus tersebut dan membantah tuduhan bahwa ia melaporkan Abdul Wahid ke KPK.

banner 325x300
error: Content is protected !!