Medan,
Gelombang kekecewaan mengguncang tubuh Pelajar Islam Indonesia (PII). Di balik hiruk pikuk persiapan pemilihan ketua umum, terendus aroma praktik politik kotor yang mengancam meruntuhkan fondasi organisasi. Benarkah PII telah menjadi arena transaksional bagi para pemburu kekuasaan?
Sejumlah kader dan pengurus wilayah mengungkapkan keprihatinan mendalam atas dugaan praktik politik tidak sehat yang mencoreng proses pemilihan Ketua Umum PB PII. Indikasi kuat mengarah pada oknum-oknum yang tega memangsa organisasi demi ambisi pribadi, mengorbankan kepentingan wilayah demi kursi kekuasaan.
Laporan dari lapangan mengungkap praktik “jual beli dukungan wilayah” yang dilakukan demi kepentingan politik pribadi. Ironisnya, oknum-oknum ini justru terlibat dalam perebutan posisi strategis di tingkat pusat. Tindakan ini jelas mengkhianati nilai-nilai luhur PII, yaitu ketulusan, keikhlasan, dan integritas.
Kekecewaan mendalam juga dirasakan oleh pengurus wilayah dari Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka merasa dikhianati setelah perubahan sikap politik elite organisasi, padahal telah memberikan kepercayaan dan dukungan sejak awal.
Seorang tokoh wilayah dengan tegas menyatakan bahwa dinamika yang terjadi mencerminkan gejala politik kekuasaan yang tidak sehat. “Banyak wilayah merasa diperalat. Ketika kepentingan pribadi lebih diutamakan daripada marwah organisasi, kader di bawah menjadi korban,” ujarnya.
Situasi semakin diperkeruh dengan kemunculan kembali figur-figur yang sebelumnya telah diberhentikan dari struktur wilayah, namun kini justru ikut meramaikan perebutan kursi strategis di PB PII. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai komitmen terhadap mekanisme organisasi dan proses kaderisasi yang sah.
Berbagai wilayah menyayangkan pola politik yang dianggap merusak persatuan, kepercayaan, dan stabilitas internal organisasi. “PII bukan ruang transaksi politik, melainkan ruang perjuangan,” tegas seorang pengurus wilayah.
Di tengah badai dugaan praktik politik kotor ini, kader-kader PII menyerukan agar proses organisasi dikembalikan pada aturan, nilai etik, serta jati diri PII. Mereka menuntut PB PII untuk mengambil langkah tegas demi memulihkan kepercayaan wilayah dan memastikan kepemimpinan mendatang tidak dibangun di atas intrik dan pengkhianatan.
Saatnya PII berbenah diri. Masa depan organisasi berada di tangan para pemimpin yang berani membersihkan praktik kotor dan mengembalikan PII pada khittah perjuangan. Hanya dengan begitu, PII dapat kembali menjadi rumah yang aman dan nyaman bagi seluruh kadernya.








