Memprihatinkan! Ketidakadilan di Negeri Hukum: Ketika Mata Timbangan Cuma Menghadap ke Bawah

banner 120x600
banner 468x60

Jakarta,

Di negeri yang katanya hukum, keadilan justru jadi barang langka. Mata timbangan seolah buta sebelah, lebih tajam menghukum sandal jepit daripada korupsi triliunan. Inilah kisah tentang hukum yang tumpul ke atas, dan tragisnya, selalu tajam ke bawah.

Indonesia, yang dikenal sebagai negara hukum (rechtstaat), seharusnya menjunjung tinggi prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law). Namun, realitas seringkali mencoreng ideal ini.

Ungkapan “hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah” adalah cerminan pahit ketidakadilan yang merajalela, di mana hukum lebih galak terhadap rakyat kecil, sementara elite dan penguasa kerap lolos dari jeratan.

Fenomena ini menggambarkan bagaimana sistem hukum bekerja cepat dan keras untuk menghukum pelanggaran kecil oleh masyarakat biasa. Contohnya:

– Kasus Nenek Minah: Dipenjara karena memetik tiga buah kakao di lahan perusahaan, menjadi simbol betapa hukum kejam terhadap mereka yang terimpit kemiskinan.

– Kasus Pencurian Sandal Jepit: Seorang remaja dianiaya dan diproses hukum hanya karena mengambil sandal jepit di masjid. Sementara, korupsi miliaran rupiah sering berakhir dengan hukuman ringan dan fasilitas mewah di penjara.

– Keterbatasan Akses Bantuan Hukum: Masyarakat miskin rentan menjadi korban manipulasi hukum dan menerima hukuman maksimal karena keterbatasan akses bantuan hukum berkualitas.

Sebaliknya, hukum menjadi lamban, tumpul, bahkan buta ketika berhadapan dengan pelanggaran oleh elite politik, pejabat berkuasa, atau konglomerat.

– Kasus BLBI: Hingga kini, kasus yang merugikan negara ratusan triliun rupiah ini masih menyisakan tanda tanya besar. Para obligor seolah kebal hukum.

– Kasus Korupsi E-KTP: Dalang utama kasus korupsi yang merugikan negara miliaran rupiah ini masih belum tersentuh hukum, meski beberapa pelaku telah divonis.

– Manipulasi Hukum dan Kekuasaan: Pihak berkuasa dan berduit mampu “membeli” celah hukum atau meringankan hukuman, menciptakan impunitas yang merusak kepercayaan publik.

Beberapa kasus yang terjadi pada tahun 2025 semakin mempertegas ketidakadilan:

– Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah Pertamina: Diperkirakan merugikan negara hingga Rp285 triliun. Ironisnya, salah satu tersangka utama berhasil kabur dan masuk DPO Kejaksaan Agung.

– Konflik Agraria Lahan Eks PGSD di Sulawesi Tenggara: Persoalan lahan Eks.SPGN/PGSD Wua-Wua, di mana tanah masyarakat (Ahli Waris Almarhum H. Ambodalle) hendak dirampas oleh pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Bapak Kikila Adi Kusuma Bin H.Ambodalle, salah satu ahli waris, terus berjuang mendapatkan keadilan, namun selalu diperhadapkan dengan klaim sepihak.

Dan masih banyak kasus-kasus yang tidak terblowup ke publik di wilayah-wilayah negara yang kita cintai ini.

Dalam kondisi ini, keadilan seolah menjadi barang mewah yang bisa diperjualbelikan. Mereka yang berkuasa dan beruang dapat memastikan proses hukum sesuai keinginan mereka, sementara yang tidak punya harus menerima nasib sebagai korban sistem.

Ketidakadilan yang terus terjadi menciptakan siklus kehancuran kepercayaan publik:

– Masyarakat menyaksikan elite bebas atau dihukum ringan, sementara rakyat kecil dihukum berat.

– Kepercayaan terhadap institusi penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) menurun drastis.

– Ketika hukum formal tidak berfungsi adil, masyarakat cenderung mencari keadilan sendiri atau melegitimasi ketidaktaatan pada hukum.

Kriminalisasi petani kerap terjadi, di mana mereka dituduh mencuri buah sawit atau merusak tanaman, yang dilaporkan oleh perusahaan perkebunan. Motif utamanya adalah mempertahankan hak hidup di lahan yang mereka klaim sebagai milik mereka.

Mengembalikan keadilan hukum memerlukan upaya sistemik dan berkelanjutan:

1. Reformasi Penegakan Hukum: Tindakan tegas terhadap oknum penegak hukum yang terlibat praktik suap, lobi, atau diskriminasi. Prinsip akuntabilitas harus ditegakkan tanpa pandang bulu.

2. Penguatan Bantuan Hukum: Negara harus memastikan setiap warga negara miskin mendapatkan akses bantuan hukum berkualitas dan efektif sejak penyelidikan hingga persidangan.

3. Penerapan Hukuman yang Proporsional: Hukuman untuk korupsi harus diperberat, termasuk pemiskinan koruptor dan pencabutan hak politik, untuk memberikan efek jera nyata.

4. Transparansi dan Pengawasan Publik: Proses peradilan harus lebih terbuka dan diawasi oleh publik dan lembaga independen.

Ketidakadilan hukum adalah luka menganga dalam kehidupan bernegara. Selama hukum masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah, mimpi tentang Indonesia sebagai negara hukum yang berkeadilan sosial akan tetap menjadi ilusi. 

Namun, kita tak boleh menyerah! Mari kobarkan harapan, satukan tekad, dan berjuang tanpa lelah, agar kelak anak cucu kita dapat mewarisi Indonesia yang adil, di mana hukum menjadi perisai bagi yang lemah, bukan alat bagi yang kuat.

Kemana dan kepada siapa lagi masyarakat harus mengadu dan percaya jika tersandung masalah hukum ?

banner 325x300
error: Content is protected !!