Kubu Raya, Gaperta.online – Jumat, (4 Juli 2025), Tokoh masyarakat dan Kepala Desa Sepuk Laut desak Kementerian Pertanian dan Pemerintah Pusat cabut izin HGU PT Punggur Alam Lestari
Konflik antara masyarakat Desa Sepuk Laut, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, dengan perusahaan perkebunan sawit PT Punggur Alam Lestari (PT PAL) memuncak. Warga menilai perusahaan telah mangkir dari kewajiban hukum terkait pembangunan kebun plasma sebagaimana diamanatkan dalam Hak Guna Usaha (HGU) sejak 2014.
Dalam pertemuan musyawarah desa pada Kamis, 3 Juli 2025, masyarakat yang diwakili tokoh lokal seperti Rustam Bujang dan Azis Buka (Wak Ateb), menyampaikan langsung tuntutan kepada pihak perusahaan yang diwakili Humas PT PAL, saudara Gubron.
Hak Masyarakat yang Diabaikan Sejak 2014
Berdasarkan data, lahan perkebunan sawit milik PT PAL di Desa Sepuk Laut mencapai 973,53 hektar, yang secara hukum mewajibkan perusahaan membangun kebun plasma untuk masyarakat minimal 20% atau sekitar 194,7 hektar. Namun hingga kini, setelah lebih dari 11 tahun, kewajiban tersebut tidak pernah direalisasikan.
“Perusahaan telah menikmati hasil panen ribuan ton sawit, tetapi hak masyarakat sama sekali tidak diberikan,” ujar Rustam Bujang. Ia menyebut tindakan ini sebagai bentuk pengabaian kewajiban hukum dan ketidakadilan struktural terhadap masyarakat desa.
Ironisnya, dalam dialog, pihak perusahaan justru menawarkan pembangunan plasma baru di tahun 2025—11 tahun setelah seharusnya dilaksanakan dan mensyaratkan masyarakat menyerahkan Sertifikat Hak Milik (SHM), sesuatu yang dinilai keluar dari kerangka hukum HGU.
Pelanggaran Regulasi Perkebunan dan UU Agraria
Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 26 Tahun 2007 Pasal 11, yang mewajibkan perusahaan membangun kebun plasma minimal 20% dari total areal HGU.
UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, khususnya Pasal 58, yang menegaskan kewajiban perusahaan dalam memberikan kemitraan dan hak masyarakat.
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang menjamin distribusi keadilan dalam pemanfaatan HGU.
Dalam konteks ini, pengabaian plasma selama lebih dari satu dekade dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, bahkan dapat memicu pencabutan izin HGU oleh pemerintah.
Kepala Desa Sepuk Laut, Muhammad Ali, dengan tegas menyatakan bahwa sikap PT PAL telah melenceng dari substansi dialog dan cenderung mengalihkan isu.
“Kalau PT PAL ingin membangun plasma tahun ini, silakan. Tapi hak masyarakat sejak 2014 harus diselesaikan dulu. Kalau tidak, saya akan tempuh jalur hukum dan merekomendasikan pencabutan izin mereka kepada kementerian terkait,” ujarnya.
Muhammad Ali menekankan pentingnya menegakkan aturan hukum dan keadilan, agar praktik semena-mena terhadap masyarakat adat dan petani tidak terus terjadi di wilayah Kubu Raya.
Masyarakat mendesak pemerintah melalui Kementerian Pertanian, ATR/BPN, dan Pemprov Kalimantan Barat untuk:
1. Melakukan audit HGU PT PAL sejak 2014.
2. Meninjau kembali izin operasional perusahaan yang tidak menjalankan kewajiban pembangunan plasma.
3. Memberikan sanksi administratif maupun pidana sesuai UU Perkebunan dan Peraturan Menteri.
Kasus ini mencerminkan bagaimana perusahaan perkebunan skala besar masih bisa menghindari tanggung jawab sosial dan hukum selama bertahun-tahun tanpa konsekuensi. Masyarakat Desa Sepuk Laut menegaskan bahwa jika keadilan tidak ditegakkan, jalur hukum dan mobilisasi advokasi ke pusat akan dilakukan secara kolektif.
Reporter: Rudi Dewa
Editor: Tim Redaksi Nasional, Dokumentasi & Fakta Lapangan: Komunitas Pemantau Perkebunan Rakyat Kubu Raya.