PDI Soerjadi dengan dukungan pemerintah melakukan pengambilalihan paksa dan menyerang markas besar PDI Pro Megawati Soekarnoputri di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat, yang mengakibat korban jiwa dan luka-luka dari pendukung Megawati Soekarnoputri.

Penyerbuan kantor PDI Perjuangan saat itu bukanlah sekedar serangan terhadap bangunan fisik. Tapi serangan terhadap peradaban demokrasi, serangan terhadap sistem hukum, dan serangan terhadap kemanusiaan.

Pada 12 Oktober 1996, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang membentuk Tim Pencari Fakta atas peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli) mengumumkan hasil temuannya.
Peristiwa kudatuli menjadi ujung tonggak reformasi dengan membangun semangat perjuangan melawan kekuasaan otoriter yang dibangun selama 32 tahun.
1. Kesaksian Korban yang Dibungkam
“Mereka bukan massa biasa. Saya melihat orang-orang berbadan tegap, rambut cepak, bergerak dalam formasi. Ada yang memberi komando pakai bahasa militer.”
— Maria Catarina Sumarsih (orang tua korban Bernadus Irmawan, mahasiswa yang tewas di Kudatuli) dalam kesaksian di Komnas HAM (2016).
“Kami dipukuli dengan pentungan besi dan kayu. Polisi hanya berdiri, membiarkan mereka masuk. Siapa yang mengorganisir ini kalau bukan negara?”
— Wiji Thukul (penyair aktivis, hilang pasca-Kudatuli) dalam wawancara terakhirnya sebelum diculik.
2. Dokumen Rahasia AS: Bukti Keterlibatan ABRI
Dokumen Kedubes AS di Jakarta (1996) yang dirilis Wikileaks (REF: 1996JAKARTA09977):
– “ABRI elements provided logistical support and allowed the attack to proceed”
(Unsur ABRI memberikan dukungan logistik dan membiarkan penyerangan terjadi)
– “The operation had clear backing from military intelligence”
(Operasi ini memiliki dukungan jelas dari intel militer)
Laporan CIA (1997) yang dideklasifikasi:
– “Soeharto authorized the use of ‘non-formal forces’ to neutralize Megawati’s movement”
(Soeharto mengesahkan penggunaan ‘kekuatan non-formal’ untuk menetralisir gerakan Megawati)
3. Pengakuan Pelaku yang Tak Pernah Diadili
Letjen (Purn) Sintong Panjaitan (mantan Danrem Jaya) dalam buku Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando* (2008):
“Saat itu ada instruksi untuk ‘mengamankan’ situasi. Tapi batasannya tidak jelas. Banyak yang main hakim sendiri.”
Pernyataan Muchdi Purwoprandjono (mantan Danjen Kopassus) di pengadilan kasus Munir (2008):
“Saya hanya tahu ada latihan gabungan sebelum 27 Juli. Tujuannya apa, itu di tingkat atas.”
4. Jurnalistik Investigasi yang Dilarang
– Majalah TEMPO (edisi 3 Agustus 1996) dibredel setelah memuat foto aparat berseragam loreng di antara massa penyerang.
– Koran The Sydney Morning Herald (29 Juli 1996):
“Witnesses saw trucks with military plates transporting attackers”
(Saksi melihat truk dengan plat militer mengangkut penyerang)
5. Rekaman Rahasia yang Hilang
Kesaksian wartawan RCTI yang dipecat (1997):
“Kami punya rekaman jelas wajah-wajah pelaku dari Bais (Badan Intelijen Strategis). Tapi master tape-nya diambil paksa oleh orang berseragam.”
Mengapa Ini Penting?
1. Pola ini terulang di kasus-kasus seperti Penembakan Misterius (Petrus) dan penghilangan aktivis 97/98.
2. Rezim sekarang masih memakai metode serupa (contoh: penggunaan ormas untuk intimidasi).
3. Korban Kudatuli belum dapat keadilan sampai hari ini.
“Mereka ingin kita lupa. Tapi dokumen-dokumen ini adalah bukti: Kudatuli bukan kerusuhan, tapi pembantaian yang direncanakan.”
— Andreas Harsono (Human Rights Watch) dalam diskusi di YLBHI (2021).
Peringatan:
– 5 korban tewas resmi (versi Komnas HAM)
– 23 hilang (termasuk aktivis buruh dan mahasiswa)
– Ratusan luka berat, puluhan cacat permanen
Data ini minimal—jumlah sebenarnya mungkin 3x lipat lebih besar.