JAKARTA,
Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto—Sekjen PDI-P yang divonis kasus suap—sementara Megawati secara mendadak memerintahkan kadernya mendukung pemerintahan Prabowo. Apakah ini rekonsiliasi atau kompromi yang menggerus supremasi hukum?

Langkah pemberian amnesti disetujui DPR melalui Surat Presiden R42/PRES/07/2025, mencakup 1.116 terpidana, termasuk Hasto dalam kasus suap Harun Masiku (buron yang hingga kini bebas dari jerat hukum). Menteri Hukum Supratman Andi Agtas beralasan amnesti demi “kondusivitas nasional” dan “kontribusi Hasto untuk NKRI”—padahal vonis pengadilan telah berkekuatan hukum tetap.
Pertanyaan Kritis:
1. Adakah pertukaran politis? Jamak diduga, amnesti ini terkait instruksi Megawati agar PDI-P mendukung Prabowo, terutama di tengah isu utang luar negeri, gejolak fiskal, dan tekanan geopolitik.
2. Di mana konsistensi penegakan hukum? Pemberian amnesti kepada elite partai penguasa—sementara rakyat kecil tetap menjalani hukuman—memantik kesan “hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah”.
3. Arah demokrasi Indonesia: Jika keputusan hukum bisa dikendalikan oleh pertimbangan “kondusivitas politik”, apakah ini menjadi preseden buruk bagi independensi peradilan?
Analisis Dampak:
– Supremasi Hukum: Amnesti ini berpotensi melemahkan kepercayaan publik terhadap proses hukum, terutama jika dianggap sebagai imbalan atas dukungan politik.
– Stabilitas Pemerintahan Prabowo: Dukungan PDI-P mungkin mengamankan posisi koalisi, tetapi berisiko memicu resistensi dari kelompok yang menuntut pemerintahan bersih.
– Pesan ke Publik: Elite politik seolah mendapat “hak istimewa” untuk lolos dari jerat hukum, sementara koruptor kelas kakap lain bisa mengajukan amnesti serupa dengan dalih “kontribusi untuk bangsa”.
“Negara hukum atau negara transaksi?” Keputusan ini bukan sekadar soal Hasto atau PDI-P, melainkan ujian bagi komitmen Indonesia terhadap prinsip equality before the law. Jika amnesti menjadi alat politik, maka yang terancam bukan hanya keadilan, melainkan masa depan demokrasi itu sendiri.
Redaksi ini menyoroti ironi hukum, dan mengajak pembaca kritis mempertanyakan motif politik di balik keputusan tersebut.