Agraria (pertanahan) di Indonesia merupakan cerminan kompleksitas politik, hukum, dan sosial bangsa. Hak penguasaan tanah selalu bergantung pada rezim yang berkuasa, mulai dari era kerajaan, kolonial, hingga Indonesia merdeka. Artikel ini menganalisis silsilah pemegang kuasa agraria dan hukum sebab-akibat (kausalitas) yang membentuk konflik dan kebijakan tanah di Indonesia.
1. Era Pra-Kolonial: Sistem Feodal-Komunal
Sebelum kolonialisme, kerajaan-kerajaan Nusantara mengadopsi sistem kepemilikan tanah berbasis hukum adat dengan hierarki kekuasaan yang jelas.
Pemegang Kuasa:
– Raja/Sultan: Pemilik otoritas tertinggi atas tanah.
– Elite Lokal (Adipati, Ulèëbalang): Mengelola tanah atas nama kerajaan.
– Masyarakat Adat: Memiliki hak ulayat (komunal) untuk menggarap tanah turun-temurun.
Hukum Kausalitas:
– Sebab: Sistem feodal memusatkan kuasa tanah pada elite, sementara rakyat hanya sebagai penggarap.
– Akibat: Konsep tanah komunal menjadi dasar hukum agraria adat yang bertahan hingga kini, meski sering berbenturan dengan hukum modern.
2. Era Kolonial Belanda (1602–1942): Eksploitasi Sistematis
Belanda menerapkan kebijakan agraria kolonial untuk mengeruk keuntungan ekonomi, mengabaikan hak adat.
Kebijakan Kunci:
– Domeinverklaring (1830): Tanah tak bertuan dianggap milik Belanda.
– Agrarische Wet (1870): Legalisasi penguasaan tanah oleh swasta asing.
– Cultuurstelsel: Tanam paksa yang memiskinkan rakyat.
Pemegang Kuasa:
– Pemerintah Kolonial (Gubernur Jenderal).
– Perusahaan Asing (VOC, Cultuur Maatschappij).
Hukum Kausalitas:
– Sebab: Eksploitasi tanah untuk perkebunan monopoli.
– Akibat:
– Kemiskinan struktural dan perlawanan rakyat (contoh: Perang Agraria Banten 1888).
– Warisan hukum agraria kolonial yang diskriminatif.
3. Pendudukan Jepang (1942–1945): Agraria untuk Perang
Jepang mengambil alih tanah untuk logistik perang, memperparah penderitaan rakyat.
Pemegang Kuasa:
– Pemerintah Militer Jepang (Gunseikan).
Hukum Kausalitas:
– Sebab: Kerja paksa (Kinrohoshi) dan penyitaan tanah.
– Akibat: Kelaparan massal dan memicu kesadaran kemerdekaan.
4. Era Kemerdekaan: Pergulatan Reforma vs Oligarki
a. Orde Lama (1945–1967): Nasionalisasi Tanah
– UUPA 1960: Menghapus hukum kolonial, mengakui hak adat.
– Landreform: Pembatasan kepemilikan tanah untuk keadilan sosial.
Pemegang Kuasa:
– Negara (Presiden sebagai mandataris MPR).
Hukum Kausalitas:
– Sebab: Landreform tidak tuntas karena resistensi elite.
– Akibat: Konflik agraria tertunda hingga Orde Baru.
b. Orde Baru (1967–1998): Liberalisasi & Oligarki
– UU Penanaman Modal Asing (1967): Membuka tanah untuk korporasi.
– HPH & Perkebunan Besar: Deforestasi dan marginalisasi masyarakat adat.
Pemegang Kuasa:
– Negara (dikendalikan militer dan konglomerat).
Hukum Kausalitas:
– Sebab: Sentralisasi kuasa tanah untuk pembangunan kapitalistik.
– Akibat: Ketimpangan ekstrim → Memicu Reformasi 1998.
c. Era Reformasi (1998–Sekarang): Demokratisasi & Tantangan Baru
– Desentralisasi: Kewenangan agraria sebagian ke pemda.
– Putusan MK No. 35/2012: Pengakuan hutan adat.
– Reforma Agraria Jokowi: Sertifikasi tanah dan redistribusi.
Pemegang Kuasa:
– Negara (Kementerian ATR/BPN) + Pemda.
Hukum Kausalitas:
– Sebab: Kebijakan tidak konsisten dan tekanan investasi.
– Akibat: Konflik agraria berlanjut (contoh: Suku Kamoro vs Freeport).
Analisis Kausalitas: Pola Berulang Ketidakadilan
Setiap perubahan rezim menghasilkan dampak sistemik:
1. Kolonialisme → Lahirnya UUPA 1960 sebagai koreksi.
2. Orde Baru → Krisis ekologi dan sosial akibat kapitalisme liar.
3. Reformasi → Pengakuan hak adat, tapi terhambat oligarki.
Akar Masalah:
– Sentralisasi kuasa tanah di tangan negara/korporasi.
– Hukum tidak konsisten dalam melindungi hak rakyat.
Solusi:
– Reforma agraria radikal yang melibatkan masyarakat adat.
– Penegakan hukum progresif berbasis keadilan sosial.
Sejarah agraria Indonesia adalah sejarah perebutan kuasa antara negara, kapital, dan rakyat. Hukum sebab-akibat menunjukkan: selama kebijakan tanah tidak berpihak pada keadilan, konflik akan terus berulang. Masa depan agraria Indonesia tergantung pada kemampuan negara menjalankan mandat konstitusi: “Bumi, air, dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”