Jakarta,
UU Narkotika sering disalahpahami sebagai murni hukum pidana. Padahal, ia adalah regulasi internasional yang mengatur narkotika sebagai obat, dengan pendekatan medis dan rehabilitasi—bukan sekadar hukuman.
Masalah Utama:
– Hukum narkotika tidak diajarkan di fakultas hukum Indonesia, sehingga penegak hukum sering menganggapnya seperti KUHP.
– Akibatnya, penyalahguna narkoba diperiksa, dituntut, dan diadili layaknya pelaku kriminal biasa—padahal UU No. 35/2009 sebenarnya mengutamakan rehabilitasi.
Double Track System dalam UU Narkotika:
1. Rehabilitasi → Untuk penyalahguna: pemulihan, reintegrasi sosial, cegah residivisme.
2. Pidana → Untuk pengedar: efek jera & perlindungan masyarakat.
Realita di Lapangan:
– Banyak penyalahguna justru diproses secara pidana murni, meski seharusnya direhabilitasi.
– Contoh kasus: Farisz RM (residivis 3x). Apakah ia pengedar atau penyalahguna? Ini menentukan apakah ia harus dihukum atau direhabilitasi.
Debat Hukum yang Menarik:
– JPU (Ahli Hukum Pidana) → Akan pakai pendekatan konvensional (penjara).
– Tim Farisz (Ahli Hukum Narkotika) → Akan dorong rehabilitasi sesuai UU.
Pertanyaan Penting untuk Hakim:
– Sudahkah mempelajari UU Narkotika sebagai hukum berbasis kesehatan, bukan sekadar pidana?
– Hukuman apa yang tepat untuk Farisz: penjara atau rehabilitasi intensif?