“AMH-EBTKE: Mitra Strategis Atasi Tantangan Hukum Pengembangan Panas Bumi di Indonesia”

Dr. I Made Subagio, S.H, M.H - ( Gaperta.online-Dok)
banner 120x600
banner 468x60

 

JAKARTA, 

Indonesia memiliki target besar: mencapai 23% bauran energi terbarukan pada 2025 dan net zero emission pada 2060 atau lebih cepat. Untuk mewujudkannya, potensi energi bersih dalam negeri harus dimaksimalkan. Salah satu yang paling menjanjikan adalah energi panas bumi (geothermal). Indonesia punya sekitar 40% cadangan panas bumi dunia, sayangnya, pemanfaatannya masih terkendala banyak hal, terutama dari sisi regulasi dan hukum.

Merespons hal ini, Asosiasi Masyarakat Hukum Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (AMH-EBTKE) hadir sebagai wadah bagi para profesional hukum untuk bersinergi dengan pemerintah, swasta, dan pemangku kepentingan lainnya. Tujuannya jelas: menciptakan iklim investasi dan regulasi yang kondusif bagi pengembangan geothermal di Indonesia.

Mengapa Peran AMH-EBTKE Penting dalam Pengembangan Geothermal?

Dr. I Made Subagio, S.H, M.H, (Dewan Pembina AMH-EBTKE) – Gaperta.online-Dok

Proyek geothermal tidak hanya soal mengebor dan membangun pembangkit. Lebih dari itu, ada banyak tantangan di bidang perizinan, lahan, hubungan masyarakat, tata kelola hutan, skema bisnis, dan kepatuhan regulasi. Di sinilah peran AMH-EBTKE menjadi sangat krusial.

1. Jembatan antara Pemerintah dan Swasta

      AMH-EBTKE menjadi mitra dialog yang konstruktif bagi pemerintah dalam menyusun regulasi yang efektif, adil, dan menarik minat investor. Di sisi lain, asosiasi ini membantu pelaku usaha memahami dan mematuhi kompleksitas hukum yang berlaku di Indonesia.

Anjis Bambang Saputra, S.H, (Sekertaris Jendral AMH-EBTKE) – Gaperta.online-Dok

2. Pusat Kompetensi dan Advokasi Hukum

      AMH-EBTKE menghimpun para ahli hukum yang khusus menekuni bidang EBTKE. Mereka memberikan pemahaman terkini mengenai interpretasi hukum, putusan pengadilan, dan praktik terbaik dalam menyelesaikan sengketa—seperti konflik lahan dan tumpang tindih regulasi—yang sering muncul dalam proyek geothermal.

3. Pendorong Investasi yang Berkelanjutan dan Berkeadilan

      Dengan memberikan kepastian hukum dan advokasi yang tepat, AMH-EBTKE bertujuan menarik lebih banyak investasi—domestik maupun asing—ke sektor geothermal. Investasi yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga memastikan keberlanjutan lingkungan dan keadilan bagi masyarakat sekitar.

Landasan Hukum Geothermal di Indonesia

Pengelolaan geothermal di Indonesia telah mengalami evolusi regulasi yang signifikan. Pemahaman terhadap pasal-pasal kunci ini sangat vital, dan di sinilah AMH-EBTKE berperan.

Berikut beberapa pasal penting yang menjadi landasan hukum pengelolaan geothermal:

1. UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3)

      “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

      Pasal ini menjadi dasar filosofis bahwa pengelolaan geothermal harus untuk kepentingan rakyat dan dikuasai oleh negara.

2. UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi

      Undang-undang ini menjadi payung hukum utama yang mengatur geothermal. Beberapa poin krusialnya:

   · Pasal 1: Mendefinisikan panas bumi sebagai sumber energi panas yang terkandung dalam air panas, uap air, dan batuan, bersama mineral ikutan dan gas lainnya.

   · Pasal 4: Menyatakan bahwa panas bumi tidak dikategorikan sebagai pertambangan, melainkan sebagai sumber energi. Ini penting untuk menghindari tumpang tindih dengan UU Pertambangan.

   · Pasal 10 & 11: Mengatur Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang ditetapkan pemerintah.

   · Pasal 12: Menjelaskan tahapan usaha pemanfaatan panas bumi: Survei Pendahuluan, Eksplorasi, Eksploitasi, dan Pengusahaan.

   · Pasal 25: Mengatur bahwa kegiatan panas bumi dapat dilakukan di kawasan hutan dengan memperhatikan peraturan kehutanan. Pasal ini sering menjadi titik kompleks dalam perizinan.

3. Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen)

      Beberapa aturan turunan yang penting:

   · PP No. 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi untuk Non-Listrik.

   · PP No. 36 Tahun 2018 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (mengatur pungutan atas panas bumi).

   · Peraturan Menteri ESDM tentang lelang WKP, tarif pembelian listrik, dan standar operasi.

Kompleksitas regulasi inilah yang memerlukan keahlian khusus. AMH-EBTKE hadir untuk memastikan setiap langkah pengembangan geothermal—dari hulu hingga hilir—berdiri di atas pondasi hukum yang kuat dan jelas.

Kolaborasi untuk Masa Depan Energi Bersih Indonesia

Keberadaan AMH-EBTKE adalah langkah maju yang patut diapresiasi. Dengan menyatukan para ahli hukum di bawah satu payung untuk fokus pada isu EBTKE—khususnya geothermal—diharapkan tercipta akselerasi dalam merealisasikan potensi besar yang dimiliki Indonesia.

Sinergi antara pemerintah, swasta, masyarakat, dan asosiasi profesi seperti AMH-EBTKE adalah kunci membuka solusi atas permasalahan hukum dan regulasi. Dengan kolaborasi ini, geothermal tidak hanya akan menjadi tulang punggung transisi energi Indonesia, tetapi juga bukti bahwa pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan dapat diwujudkan.

Kontak AMH-EBTKE:

– Dr. I Made Subagio, S.H, M.H, (Dewan Pembina AMH-EBTKE) – Pakar Hukum Geothermal
– R. Dicky S, CATP, (Ketua Umum AMH-EBTKE)
– Anjis Bambang Saputra, S.H, (Sekretaris Jenderal AMH-EBTKE)

banner 325x300
error: Content is protected !!