JAKARTA,
Wacana pemberian amnesti dan abolisi yang digulirkan oleh sejumlah pihak di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali memicu perdebatan publik sampai hari ini, khususnya terkait kemungkinan pelibiran bagi terpidana kasus korupsi.
Rencana ini menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan, termasuk lembaga antirasuah dan pengamat hukum. Di satu sisi, kebijakan amnesti dinilai dapat menjadi instrumen rekonsiliasi dan mengurangi kepadatan lembaga pemasyarakatan. Namun di sisi lain, kekhawatiran terbesar adalah dampaknya terhadap pemberantasan korupsi dan prinsip keadilan.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pernyataan tertulisnya menyatakan bahwa institusinya menghormati kewenangan DPR dan Presiden dalam hal pemberian amnesti. Namun, KPK mengingatkan agar kebijakan apapun harus tetap mempertimbangkan semangat utama pemberantasan korupsi dan tidak menimbulkan persepsi adanya pelemahan hukum.
“Setiap kebijakan, termasuk amnesti, harus dilakukan dengan sangat hati-hati, transparan, dan mempertimbangkan asas keadilan serta dampaknya terhadap upaya pemberantasan korupsi,” demikian pernyataan KPK.
Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakatakat (LSM) antirasuah juga menyuarakan penolakan keras. Mereka berargumen bahwa pemberian amnesti kepada koruptor akan menjadi kemunduran besar dalam komitmen negara terhadap pemberantasan korupsi dan dapat melukai rasa keadilan masyarakat.
Sementara itu, dilaporkan bahwa beberapa mantan terpidana kasus korupsi telah mengajukan permohonan untuk mendapatkan amnesti ini. Hingga artikel ini diterbitkan, sudah ada keputusan final dari DPR dan Presiden mengenai obyek dan kriteria penerima amnesti.
Pemberian amnesti dan abolisi merupakan kewenangan Presiden setelah mendapat pertimbangan dari DPR, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan terkait. Proses pembahasannya diperkirakan akan berlangsung panjang dan melibatkan berbagai stakeholders.
GAPERTA ONLINE adalah portal berita online yang berkomitmen untuk menyajikan informasi yang akurat, berimbang, dan berintegritas sesuai dengan kode etik jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.