“ENERGI BARU TERBARUKAN: PROYEK MEGAH YANG MENJERAT RAKYAT?”

Pembohongan Besar di Balik Gencarnya Kampanye Energi Baru Terbarukan (EBT)

banner 120x600
banner 468x60

Pemerintah dan korporasi multinasional terus mendengungkan transisi dari energi fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT) seperti tenaga surya, angin, dan hidro. Mereka menjanjikan lingkungan yang bersih, kemandirian energi, dan masa depan yang cerah. Namun, di balik narasi indah itu, tersimpan fakta-fakta pahit yang justru merugikan masyarakat, terutama rakyat kecil.

1. Biaya Pembangunan yang Mencekik, Rakyat yang Menanggung

Proyek EBT bukanlah investasi murah. Pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), bayu (PLTB), atau mini-hidro (PLTMH) membutuhkan dana triliunan rupiah. Siapa yang membayar? Uang rakyat.

– Utang luar negeri menggunung. Pemerintah mengandalkan pinjaman asing untuk membiayai proyek EBT, seperti dana dari World Bank atau ADB. Utang ini akhirnya menjadi beban APBN, yang berarti pajak rakyat akan digunakan untuk membayarnya selama puluhan tahun.

– Tarif listrik naik. Di banyak negara, transisi ke EBT justru membuat harga listrik melambung. Jerman, misalnya, memiliki harga listrik tertinggi di Eropa akibat kebijakan Energiewende (transisi energi). Jika ini terjadi di Indonesia, rakyat kecil yang paling menderita.

2. Ketergantungan pada Teknologi dan Bahan Impor

Indonesia tidak memiliki industri pendukung EBT yang mandiri. Panel surya, turbin angin, dan baterai lithium harus diimpor dari Tiongkok, Amerika, atau Eropa. Ini berarti:

– Uang mengalir ke korporasi asing. Alih-alih memakmurkan rakyat, proyek EBT justru menguntungkan perusahaan multinasional seperti Siemens, Tesla, atau SunPower.

– Tidak ada transfer teknologi nyata. Indonesia hanya menjadi pasar, bukan pemain utama. Ketika teknologi berubah, kita akan terus bergantung pada impor.

3. Kerusakan Lingkungan dan Konflik Lahan

Jangan tertipu dengan klaim “ramah lingkungan”. Proyek EBT seringkali justru merusak alam dan mengorbankan masyarakat lokal:

– PLTA skala besar menggusur warga. Contoh nyata: Waduk PLTA Kayan di Kalimantan Utara mengancam kehidupan suku Dayak dan merusak ekosistem hutan.

– Pertambangan bahan baku baterai merusak lingkungan. Lithium, nikel, dan kobalt—bahan baku baterai EBT—ditambang dengan cara yang merusak alam. Di Morowali, pertambangan nikel untuk baterai listrik telah mencemari laut dan merampas lahan nelayan.

4. Ketidakstabilan Pasokan Listrik

EBT seperti surya dan angin sangat tergantung pada cuaca. Jika mendung atau tidak ada angin, pasokan listrik bisa drop. Jerman dan Australia telah mengalami pemadaman listrik akibat ketergantungan pada EBT.

– Butuh cadangan energi fosil. Artinya, PLTU batubara atau gas tetap harus beroperasi sebagai cadangan, sehingga klaim “mengurangi emisi” menjadi tidak signifikan.

5. Rakyat Kecil yang Jadi Korban

Siapa yang diuntungkan dari proyek EBT? Korporasi dan elit politik. Sementara rakyat kecil:

– Kehilangan mata pencaharian. Nelayan dan petani terganggu oleh proyek PLTS atau PLTA.

– Terjebak biaya hidup tinggi. Jika harga listrik naik, UMKM dan rumah tangga miskin akan kesulitan.

– Tergusur dari tanah leluhur. Proyek energi hijau sering mengabaikan hak masyarakat adat.

Kesimpulan: EBT Bukan Solusi, Tapi Bencana Baru

Energi Baru Terbarukan bukanlah solusi ajaib. Ia hanya alat bagi korporasi dan pemerintah untuk mengeruk keuntungan, sementara rakyat menanggung dampaknya. Sebelum gegabah beralih ke EBT, Indonesia harus:

1. Kalkulasi ulang dampak ekonomi secara transparan.

2. Stop utang luar negeri untuk proyek EBT.

3. Prioritaskan kemandirian teknologi, bukan sekadar impor.

4. Lindungi hak masyarakat adat dan kecil yang terdampak.

Jangan biarkan rakyat menjadi korban dari proyek megah yang hanya menguntungkan segelintir elit. Energi yang benar-benar terbarukan adalah energi yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia.

Referensi :
– Data World Bank tentang utang proyek energi.
– Laporan German Energy Transition (Energiewende) 2023.
– Investigasi dampak pertambangan nikel di Morowali oleh Walhi.
– Studi kasus konflik lahan PLTA Kayan oleh AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).

Dan masih banyak lagi!

Artikel ini ditulis berdasarkan fakta dan data akurat. Jika pemerintah dan korporasi punya narasi berbeda, biarkan mereka membuktikannya dengan transparansi, bukan janji kosong.

AKURAT BICARA FAKTA!

banner 325x300
error: Content is protected !!