“Gencatan Senjata Thailand-Kamboja: Langkah Awal Menuju Perdamaian atau Hanya Jeda Sementara?”

'Akar Konflik, Tantangan Implementasi, dan Prospek Perdamaian Jangka Panjang'

banner 120x600
banner 468x60

Bangkok – Phnom Penh,

Gencatan senjata tanpa syarat antara Thailand dan Kamboja yang diumumkan pada 28 Juli 2025 berhasil meredakan ketegangan militer yang sempat memicu krisis kemanusiaan di perbatasan. Namun, sejarah panjang konflik dan dinamika politik domestik di kedua negara memunculkan pertanyaan kritis: bisakah kesepakatan ini bertahan?

Gaperta.online-Dok

Warisan Kolonial yang Tak Kunjung Usai,
Konflik perbatasan Thailand-Kamboja berawal dari warisan kolonial, khususnya perjanjian Prancis-Siam 1904/1907. Titik panas utama terletak di sekitar kuil Preah Vihear dan kompleks Ta Moan Thom—wilayah yang diperebutkan baik secara historis maupun strategis.

Ketegangan terbaru pecah pada 24 Juli 2025 setelah insiden tembak-menembak di dekat Ta Moan Thom. Dalam lima hari berikutnya, eskalasi militer terjadi dengan serangan artileri dan udara, menewaskan sedikitnya 38 orang dan mengungsikan 300.000 warga dari kedua sisi perbatasan.

Diplomasi di Bawah Tekanan, Gencatan senjata akhirnya tercapai setelah mediasi intensif oleh Malaysia, selaku Ketua ASEAN, dengan dukungan tekanan diplomatik dari AS dan Tiongkok. Salah satu faktor pendorong adalah ancaman tarif ekspor 36% dari AS yang akan berlaku mulai Agustus 2025—sebuah pukulan ekonomi bagi kedua negara yang sedang menghadapi perlambatan pertumbuhan.

“Kalkulasi ekonomi menjadi insentif besar bagi Bangkok dan Phnom Penh untuk menahan diri,” kata Dr. Sothirak Pou, pengamat politik Kamboja dari ISEAS-Yusof Ishak Institute. “Namun, perdamaian abadi membutuhkan lebih dari sekadar ancaman sanksi.”

Rapuhnya Kepercayaan, Meski gencatan senjata sudah berlaku, laporan pelanggaran kecil terus bermunculan. Beberapa jam setelah kesepakatan, Thailand menuduh pasukan Kamboja memasuki zona demiliterisasi—klaim yang dibantah keras oleh Phnom Penh.

“Ini klasik dalam konflik perbatasan,” ujar Prof. Thitinan Pongsudhirak dari Chulalongkorn University. “Tanpa mekanisme pemantauan independen, saling curiga akan terus menghantui proses perdamaian.”

Bahan Bakar Konflik, Di Thailand, konflik ini dimanfaatkan oleh elit militer dan kerajaan untuk mengalihkan perhatian dari tekanan politik dalam negeri. Sementara di Kamboja, PM Hun Manet menggunakan narasi “pertahanan kedaulatan” untuk mengonsolidasikan dukungan di tengah ketidakpuasan publik atas kinerja ekonominya.

“Ketika kepentingan politik dalam negeri lebih penting daripada stabilitas regional, perdamaian menjadi taruhannya,” tambah Prof. Thitinan.

Prospek Jangka Panjang, Empat Pilar Kunci :
1. Diplomasi Aktif – Peran ASEAN dan negara-negara besar dalam memediasi dialog lanjutan.
2. Insentif Ekonomi – Ancaman sanksi AS dan potensi investasi jika stabilitas terjaga.
3. Stabilitas Domestik – Pengendalian narasi nasionalisme oleh elite politik.
4. Solusi Teknis – Demarkasi perbatasan berbasis survei bersama dan teknologi digital.

Damai yang Masih Rapuh, Gencatan senjata ini adalah pencapaian penting, tetapi bukan akhir dari konflik. Keberlanjutannya bergantung pada kemauan politik kedua negara dan kemampuan ASEAN memastikan kesepakatan tidak hanya sekadar jeda sementara.

“Jika tidak dikelola dengan hati-hati, perbatasan Thailand-Kamboja akan tetap menjadi bubuk mesiu siap meledak,” pungkas Dr. Sothirak.

banner 325x300
error: Content is protected !!