JAKARTA,
Indonesia dikaruniai kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah dan menjadi tulang punggung perekonomian global. Data terkini menunjukkan posisi strategis Indonesia di kancah komoditas dunia:
1. Nikel: Produsen terbesar dunia (2,2 juta ton)
2. Sawit: Produsen CPO nomor satu global (19,5 juta ton/tahun)
3. Batu Bara: Produsen terbesar ke-3 dunia (606,2 juta ton)
4. Timah: Produsen terbesar ke-2 dunia (74 ribu ton)
5. Tembaga: Produsen terbesar ke-5 dunia (1,1 juta ton)
6. Emas: Top 10 produsen global (100 metrik ton)
7. Bauksit: Produsen terbesar ke-6 dunia (20 juta ton)
8. Gas Alam: Eksportir LNG terbesar ke-10 (8,6 juta ton)
Namun di balik kekayaan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan realitas tantangan fiskal: hingga Mei 2024, defisit APBN mencapai Rp 32,3 triliun. Kondisi ini memunculkan pertanyaan kritis: Kemana larinya hasil kekayaan SDA Indonesia?
Analisis: Mengurai Kompleksitas Penerimaan Negara
Jawaban atas pertanyaan ini bersifat multidimensi dan melibatkan beberapa faktor kunci:
1. Skema Bisnis dan Fluktuasi Harga Global Operasi pertambangan dan perkebunan skala besar umumnya menggunakan skema Kontrak Karya dan Perizinan Berusaha.Perusahaan membayar pungutan seperti pajak penghasilan, royalti, dan Dana Bagi Hasil (DBH). Namun, penerimaan ini sangat bergantung pada harga komoditas global yang fluktuatif. Saat harga turun, pendapatan negara juga merosot.
2. Masa Transisi Hilirisasi Kebijakan hilirisasi(seperti larangan ekspor bijih nikel) bertujuan menciptakan nilai tambah dan industri dalam negeri. Namun dalam jangka pendek, kebijakan ini mengurangi penerimaan dari ekspor bahan mentah. Pembangunan pabrik pengolahan dan smelter membutuhkan waktu tahunan sebelum memberikan manfaat ekonomi penuh.
3. Beban Subsidi Energi Ironisnya,negara kaya energi justru menanggung beban subsidi energi yang besar. Harga BBM, LPG, dan listrik yang dijual murah disubsidi oleh APBN. Pada 2023, alokasi subsidi energi mencapai ratusan triliun rupiah. Sebagian pendapatan SDA kembali untuk menutupi biaya subsidi ini.
4. Kebocoran dan Inefisiensi Praktik penghindaran pajak,pengalihan keuntungan oleh perusahaan multinasional, serta penambangan dan penebangan liar masih menjadi tantangan serius. Aktivitas ini menyebabkàn potensi penerimaan negara tidak sepenuhnya masuk ke kas negara.
5. Tantangan Alokasi Dana Daerah Penerimaan DBH didistribusikan ke daerah penghasil,namun efektivitas penggunaannya untuk pembangunan berkelanjutan masih perlu pengawasan ketat untuk memastikan tidak terjadi pemborosan.
Kesimpulan dan Langkah Ke Depan
Defisit APBN bukan indikasi kekayaan SDA “hilang”, tetapi mencerminkan kerumitan pengelolaan SDA yang dipengaruhi:
· Beban subsidi energi yang besar
· Masa transisi kebijakan hilirisasi
· Potensi kebocoran dan inefisiensi
Untuk mengoptimalkan penerimaan negara, diperlukan langkah-langkah strategis:
· Transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola SDA
· Penegakan hukum terhadap praktik ilegal dan penghindaran pajak
· Pengawasan efektivitas belanja daerah dari DBH
· Evaluasi skema subsidi energi agar tepat sasaran
· Percepatan hilirisasi untuk segera merealisasikan nilai tambah ekonomi
Dengan langkah-langkah konkret ini, kekayaan alam Indonesia dapat dikelola secara lebih optimal untuk kesejahteraan generasi sekarang dan masa depan.