Perayaan Natal Nasional 2025 yang diinisiasi pemerintah, dengan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait sebagai ketua panitia, menuai sorotan.
Di satu sisi, semangat solidaritas kemanusiaan terhadap Palestina diapresiasi.
Namun, Indonesia Government Watch (IGoWa) justru mempertanyakan prioritas bantuan yang dinilai kurang tepat sasaran.
Perayaan ini, yang tertuang dalam Keputusan Menteri Agama RI Nomor 1544 Tahun 2025, bertujuan untuk memastikan perayaan Natal berlangsung tertib, efektif, dan akuntabel.
Menteri Maruarar Sirait menekankan bahwa Natal tahun ini bukan hanya perayaan iman, tetapi juga wujud kepedulian terhadap penderitaan rakyat Palestina.
Bantuan Natal bahkan diserahkan kepada Duta Besar Palestina sebagai simbol solidaritas kemanusiaan.
IGoWa mengapresiasi langkah pemerintah yang mengedepankan semangat kemanusiaan.
Namun, Peneliti IGoWa Brian Samosir mengingatkan bahwa solidaritas global harus seimbang dengan tanggung jawab terhadap rakyat sendiri, terutama masyarakat Kristen di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) yang masih hidup dalam keterbatasan.
Brian menyoroti konsistensi dukungan Indonesia terhadap Palestina selama ini. Ia menyebutkan, Februari lalu Kemlu memfasilitasi penggalangan dana sebesar USD 200 juta (sekitar Rp 3,2 triliun) untuk Palestina.
Pemerintah juga menyalurkan 10.000 ton beras pada bulan Juli, dan mengirimkan 17,8 ton bantuan kemanusiaan ke Gaza pada Agustus lalu.
“Ini adalah contoh nyata komitmen pemerintah terhadap Palestina, tidak hanya secara politik tetapi juga melalui aksi kemanusiaan berkelanjutan,” tegas Brian.
Namun, Brian mempertanyakan mengapa perhatian dan bantuan di momen Natal ini tidak difokuskan ke dalam negeri, khususnya kepada masyarakat Kristen di wilayah 3T.
Menurutnya, wilayah-wilayah seperti Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara memiliki populasi Kristen yang signifikan dengan tingkat kemiskinan yang tinggi.
Data BPS mencatat angka kemiskinan di Papua (19,16%), Papua Pegunungan (30,03%), Maluku (15,38%), dan NTT (19,02%) jauh di atas rata-rata nasional (9,36%).
Selain kemiskinan, keterbatasan fasilitas pendidikan, akses kesehatan, dan infrastruktur sosial masih menjadi masalah utama.
“Jika semangat Natal adalah berbagi kasih, kita harus jujur melihat fakta bahwa saudara-saudara kita di dalam negeri masih bergulat dengan pergumulan yang sangat berat,” ungkap Brian.
Brian mengutip Galatia 6:10 yang menekankan prioritas moral untuk membantu kawan seiman terlebih dahulu.
“Solidaritas untuk Palestina tetap penting, tetapi efektivitas bantuan harus ditimbang dengan benar. Jangan sampai kepekaan global membuat kita buta terhadap kesulitan domestik,” tegasnya.
Direktur Eksekutif IGoWa, Sutrisno Pangaribuan, menambahkan bahwa Natal Nasional seharusnya menghasilkan dampak nyata bagi masyarakat rentan di wilayah 3T.
“Perayaan ini harus menjadi panggilan untuk menyalurkan kasih kepada saudara-saudara kita yang paling membutuhkan di tanah air,” sebutnya.
Dalam keterbatasan, Natal harus menjadi aktualisasi kasih dan solidaritas. “Berbagai kesulitan dan kemiskinan yang dialami jemaat tidak mengurangi keberanian untuk memberi dari kekurangan, seperti tertulis pada Markus 12:41-44,” tutupnya.