Pontianak,Gaperta.Online – Kalimantan Barat, 12 Juni 2025. Informasi adanya rokok ilegal di kalbar menjadi sorotan publik. Publik mempertanyakan
sikap Aparat Penegak Hukum (APH) dan Bea Cukai atas maraknya rokok ilegal ini. Publik mendesak adanya tindakan tegas dan transparan dalam pemberantasan rokok ilegal yang menimbul kan kerugian negara dari sektor cukai dan juga merugikan industri rokok legal.
Gelombang kecaman terhadap aparat penegak hukum (APH) dan Bea Cukai kian deras setelah terungkapnya temuan gudang penyimpanan dan distribusi rokok ilegal di wilayah Sungai Raya, Kubu Raya, serta beberapa titik di Pontianak Timur, Barat, Selatan, dan Utara. Lambannya penindakan membuat publik berspekulasi bahwa ada pembiaran sistemik dalam skema kejahatan ekonomi yang terorganisir ini.
Dr. Herman Hofi Munawar, pakar hukum pidana dan pengamat kebijakan publik nasional, menyebut penegakan hukum dalam kasus ini “nyaris tak bergerak”. Ia mengingatkan bahwa absennya tindakan tegas dapat meruntuhkan legitimasi negara di mata rakyat.
Penindakan terhadap rokok ilegal dan berbagai barang ilgal lainnya nyaris tidak terdengar. Kalaupun ada informasi bahwa adanya penindakan namun faktanya gerakan APH dan Bea Cukai terhadap rokok ilegal ini dilakukan tidak cukup masif dan bahkan tidak konsisten terhadap penindakan rokok ilegal.
Jika peredaran rokok ilegal tidak ditindak tegas, hal ini dapat mengikis kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dan menciptakan kesan bahwa pelanggaran hukum tidak memiliki konsekuensi serius. Ini dapat merembet ke sektor-sektor lain dan mengurangi tingkat kepatuhan masyarakat terhadap peraturan dan perundang-undangan.
Singkatnya, peredaran rokok ilegal adalah kejahatan ekonomi yang secara langsung mengurangi pendapatan negara, merusak iklim usaha yang sehat, dan berpotensi memiliki dampak negatif lebih luas terhadap masyarakat. Inilah mengapa desakan publik agar APH dan Bea Cukai bertindak tegas dan transparan dalam penindakan rokok ilegal.
Ketika tidak ada penindakan terhadap pelaku rokok ilegal, publik menilai negara seolah tunduk pada jaringan kejahatan terorganisir. Ini berbahaya secara hukum dan politik. Ada kesan impunitas yang merajalela,” tegasnya.
Rokok ilegal bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi merupakan bentuk kejahatan lintas sektor: dari pelanggaran cukai, pajak, hingga tindak pidana pencucian uang (TPPU). Menurut data Kementerian Keuangan, potensi kerugian negara akibat peredaran rokok ilegal mencapai Rp9 triliun per tahun. Jumlah tersebut belum termasuk kerusakan sistem pengawasan dan penghilangan hak konsumen atas informasi yang benar.
Peredaran rokok tanpa cukai dan tanpa standar kesehatan nasional melanggar berbagai undang-undang:
Pasal 54 dan 56 UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai: Pidana hingga 8 tahun dan denda 20 kali lipat nilai cukai.
UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen: Penjualan barang berbahaya tanpa label resmi adalah pelanggaran pidana dan perdata.
UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan: Produk tembakau tanpa izin edar resmi dapat dijatuhi sanksi berat.
UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU: Menyembunyikan hasil tindak pidana dapat dipidana 20 tahun penjara dan denda hingga Rp10 miliar.
Sementara itu, pengamat hukum konsumen internasional asal Australia, Prof. Lisa Cartwright dari Consumer Law & Regulation Centre (CLRC) menilai pembiaran terhadap barang ilegal seperti rokok tanpa pita cukai dapat berdampak luas pada reputasi perdagangan Indonesia di pasar global.
Jika praktik semacam ini dibiarkan, bukan hanya konsumen dalam negeri yang dirugikan. Indonesia bisa kehilangan kepercayaan mitra internasional atas komitmen terhadap perdagangan legal dan fair,” ujarnya dalam keterangan daring kepada media.
Tak hanya itu, keterlibatan aktor intelektual di balik jaringan ini juga mendapat sorotan tajam. Menurut Yusuf Lantara, peneliti senior di Pusat Studi Hukum Ekonomi dan Kriminal Universitas Indonesia, kasus seperti ini “jarang menyentuh para pemain besar”.
Kita terlalu sering melihat kasus ini hanya menyasar operator lapangan. Penadah besar, pemodal, atau oknum pelindung—justru aman. Ini preseden buruk dalam penegakan hukum,” ujarnya.
Saat ini, publik mendesak Polda Kalbar, Bea Cukai, dan Kejaksaan Tinggi Kalbar untuk membuka status penyelidikan secara transparan:
Apakah gudang-gudang tersebut sudah disita?
Apakah pelaku utama telah ditetapkan tersangka?
Di mana titik distribusi lain berada?
Dan yang paling penting: apakah ada keterlibatan aparat?
Dr. Herman menegaskan, “Negara tidak boleh kalah oleh jaringan ilegal. Kalau ada aparat yang terlibat, harus ditindak. Kalau ada tekanan politik, harus dibuka. Jangan ada lagi kasus yang dibekukan diam-diam.”
Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Kalimantan Barat mulai mendorong pembentukan Satgas Gabungan Independen yang terdiri dari KPK, PPATK, Kejaksaan Agung, dan Komnas HAM untuk mengaudit proses hukum dan aliran uang dari peredaran rokok ilegal dan barang ilegal lainnya. Ini dianggap sebagai solusi jika APH lokal terbukti tidak netral.
Jangan remehkan kejahatan ekonomi. Ini merusak struktur fiskal negara dan memperluas zona abu-abu hukum. Negara harus hadir,” pungkas Dr. Herman.
Narasumber: Dr. Herman Hofi Munawar Pengamat Kebijakan Publik dan Pakar Hukum Pidana
Prof. Lisa Cartwright Hukum Konsumen Internasional, Consumer Law & Regulation Centre (CLRC), Australia
Yusuf Lantara – Peneliti Senior Hukum Ekonomi dan Pidana, Universitas Indonesia