“RAJA TANPA BENTENG; Ketika Hukum Kehilangan Kepercayaan Publik”

Hukum Diuji, Pembela Yang Problemastik ?

banner 120x600
banner 468x60

Sejak lengsernya Joko Widodo dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia, ruang publik seolah tak pernah benar-benar sepi dari bayang-bayang masa pemerintahannya. Satu isu yang terus bergulir dan bahkan menemukan momentumnya kembali adalah soal keaslian ijazah sarjana milik Jokowi. Sebuah isu yang sejatinya sudah dijawab secara hukum dan administratif—UGM telah menegaskan keasliannya, Bareskrim Polri telah memverifikasi secara forensik, dan tidak ditemukan pelanggaran pidana. Namun, mengapa isu ini tak kunjung padam?

Dalam pengamatan saya sebagai advokat, isu ini hidup bukan semata karena bukti, tetapi karena siapa yang membela dan bagaimana hukum diterapkan terhadap para pembela itu. Di sinilah posisi hukum dan moral mulai menjadi kabur.

Lihatlah sosok Silfester Matutina—salah satu loyalis Jokowi yang kini menjadi corong pembelaan atas isu ijazah. Ironisnya, ia bukan hadir sebagai figur bersih dan netral. Silfester telah divonis Mahkamah Agung selama 1 tahun 6 bulan atas perkara fitnah terhadap Jusuf Kalla, namun hingga kini belum juga ditahan oleh Kejaksaan. Padahal, status inkrah dalam putusan pidana semestinya menjadi landasan eksekusi yang tak bisa ditawar. Bila rakyat biasa, atau bahkan oposisi politik, berada di posisi Silfester, kita tentu bisa menebak dengan mudah: eksekusi segera dijalankan.

Ketika seorang yang telah divonis pidana bisa tetap bebas dan bahkan tampil sebagai pembela figur negara, maka publik tak hanya menyoal substansi ijazah, tetapi juga menguji keseriusan sistem hukum itu sendiri. Di sinilah hukum dipertaruhkan bukan dari segi norma, tetapi dari integritas dan keberaniannya.

Sebagai seorang yang lama bersentuhan dengan perkara, saya terbiasa membaca dinamika kekuasaan seperti permainan catur. Dalam permainan itu, seorang raja adalah sosok yang dilindungi dengan sangat ketat. Ia tidak menyerang, ia hanya bertahan. Kuda, benteng, peluncur, dan menteri adalah pasukan strategis yang siap mati demi menjaga keselamatannya. Tapi apa jadinya bila semua bidak kuat itu satu per satu menjauh?

Hari ini, Jokowi—bukan lagi sebagai presiden, melainkan sebagai pribadi yang masih memiliki pengaruh publik—tampak seperti raja yang hanya ditemani pion-pion lemah. Figur-figur besar yang dulu berada di lingkarannya mulai bungkam atau perlahan menjauh. Mereka yang masih berdiri di depannya bukan lagi pilar-pilar hukum dan intelektualitas, melainkan relawan dan pembela bermasalah. Dan bila pion-pion ini mulai ambruk—baik karena hukum atau kredibilitas yang rapuh—maka raja itu tinggal sendirian di tengah papan.

Dalam teori hukum, kita sering bicara soal equality before the law, namun dalam praktik politik, keadilan kerap kali tunduk pada loyalitas. Di sinilah saya merasa keprihatinan yang mendalam. Bukan hanya soal Jokowi, tapi soal bagaimana kita, sebagai bangsa, ingin mewariskan narasi keadilan kepada generasi selanjutnya. Bila hukum terlihat tajam ke luar, tetapi tumpul ke dalam, maka tidak ada yang bisa menyelamatkan kepercayaan publik selain reformasi moral di jantung kekuasaan itu sendiri.

Jokowi memang telah turun takhta, tetapi warisan politik dan moralnya masih akan lama diuji oleh sejarah. Dan jika sejarah akan menuliskannya, maka bagian paling genting bukanlah tentang apakah ijazahnya palsu atau asli, melainkan siapa yang membelanya, dan apakah hukum berdiri tegak saat badai keraguan itu datang.

Saya memiliki tanggung jawab moral untuk mengingatkan: hukum harus ditegakkan secara konsisten, tanpa pandang bulu. Eksekusi terhadap putusan pengadilan bukanlah wilayah kompromi. Ini bukan soal siapa yang dibela, tapi soal apakah kita ingin negeri ini dibangun di atas fondasi keadilan yang sehat, atau dibiarkan lapuk oleh tebang pilih dan kompromi kepentingan.

Dalam sejarah, kekuasaan bisa naik dan turun. Tetapi marwah hukum harus tetap berdiri tegak. Karena bila hukum mulai dipertanyakan, bukan hanya para tokoh yang akan kehilangan kehormatan—seluruh bangsa bisa kehilangan masa depannya.

Hari ini, kita saksikan bahwa Joko Widodo tidak lagi berada di singgasana. Namun publik tetap mengawasinya sebagai mantan kepala negara. Dan sejarah akan mencatat bukan hanya bagaimana ia memerintah, tapi juga siapa yang membelanya, dan bagaimana hukum berdiri ketika badai itu datang.

Saya tidak menyarankan pembiaran atau persekusi politik. Yang saya minta sebagai warga negara dan bagian dari komunitas hukum adalah konsistensi penerapan hukum, keadilan tanpa tebang pilih, dan kejujuran dalam menyampaikan fakta. Biar publik yang menilai, tetapi biarkan hukum tetap berdiri dalam kehormatannya.

Karena pada akhirnya, raja boleh pergi, tapi hukum tak boleh mati.

banner 325x300
error: Content is protected !!