RUU Perampasan Aset: Solusi Mendesak Rejuvenasi KPK dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia

banner 120x600
banner 468x60

Draf Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset masih belum menemui titik terang, sementara koruptor terus meraup keuntungan. Gambaran ini secara akurat mencerminkan dinamika pemberlakuan RUU Perampasan Aset yang tak kunjung disahkan. Lebih dari satu dekade telah berlalu sejak draf RUU ini selesai disusun oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada tahun 2012. Melalui surat presiden nomor R-22/Pres/05/2023, Presiden Jokowi mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memprioritaskan pembahasan RUU Perampasan Aset terkait Tindak Pidana (RUU PATP). Keengganan DPR dalam mengesahkan regulasi “sapu jagat” ini mengindikasikan inkonsistensi dalam mengamini komitmen Indonesia terhadap The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia untuk mencegah dan memberantas korupsi secara efektif dan efisien.

Urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset semakin krusial mengingat kerugian negara akibat tindak pidana korupsi pada tahun 2022 mencapai Rp 48,786 triliun, dengan tingkat pengembalian melalui pidana uang pengganti hanya sebesar Rp 3,821 triliun atau 7,83 persen dari total kerugian. Besarnya kerugian ini sejalan dengan penurunan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada awal tahun 2023, dari 38 menjadi 34, menempatkan Indonesia pada peringkat 110 dari 180 negara terkorupsi. Transparency International Indonesia (TI Indonesia) mencatat bahwa Indonesia kini berada pada posisi sepertiga negara terkorup di dunia.

Regulasi yang komprehensif dan progresif sangat dibutuhkan untuk mengatasi korupsi yang kompleks. Dampak tindak pidana korupsi (tipikor) tidak hanya membahayakan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga merusak nilai-nilai moralitas bangsa. Oleh karena itu, tipikor dikategorikan sebagai extraordinary crime di Indonesia. Kerugian negara akibat korupsi dan uang pengganti yang diterima masih jauh dari sebanding, menegaskan urgensi RUU Perampasan Aset.

Sistem peradilan Indonesia menyelesaikan tindak pidana korupsi melalui mekanisme peradilan pidana tipikor, termasuk perampasan aset sebagai upaya pengembalian hasil korupsi dan pemulihan ekonomi negara. Mekanisme perampasan aset pelaku tipikor diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Unsur perampasan aset tanpa pemidanaan khusus terdapat pada Pasal 38 ayat (5) dan (6) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 serta Pasal 38B ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Meskipun UU Tipikor mengatur perampasan aset tanpa pemidanaan, masih ada kekosongan hukum terkait mekanisme perampasan aset dalam kasus tersangka meninggal dunia, melarikan diri, atau tidak ditemukan ahli waris. Pasal 54 ayat (1) huruf c UNCAC 2003 mendesak negara-negara untuk memiliki regulasi komprehensif sebagai antisipasi perampasan aset tanpa mekanisme pidana (NCB asset forfeiture) dalam kasus tersangka tidak dapat dituntut karena kematian atau pelarian. Hal ini menjadi perhatian dalam RUU Perampasan Aset mengingat terus membesarnya kerugian negara akibat korupsi.

RUU Perampasan Aset menawarkan tiga paradigma baru: Pertama, subjek hukum yang didakwakan tidak hanya pelaku kejahatan, tetapi juga aset yang diperoleh dari kejahatan tersebut. Kedua, mekanisme peradilan yang digunakan adalah peradilan perdata. Ketiga, tidak dikenakan sanksi pidana seperti pada pelaku kejahatan lainnya.

Pasal 5 ayat (2) poin a RUU Perampasan Aset merinci perampasan dapat dilakukan pada aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan, yang tidak dapat dibuktikan asal usulnya secara sah oleh tersangka. Pasal 6 ayat (1) merinci bahwa aset yang dirampas adalah aset bernilai minimal seratus juta rupiah atau terkait dengan ancaman tindak pidana dengan penjara empat tahun atau lebih. Dengan konsep non-conventional based ini, penyidik atau penuntut umum dapat menelusuri langsung aset yang diduga kuat berasal dari tindak korupsi (in rem). Perampasan aset dapat dilakukan ketika penyidik atau penuntut umum memperoleh dugaan kuat mengenai asal-usul aset tersebut, dan selanjutnya dapat langsung memerintahkan pemblokiran yang dapat diikuti dengan penyitaan oleh lembaga yang berwenang.

Pasal 7 ayat (1) RUU Perampasan Aset mengisi kekosongan hukum pada UU Tipikor, merumuskan bahwa perampasan aset tetap dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya, hingga pada terdakwa yang diputus lepas dari tuntutan hukum. Hal ini merupakan upaya perwujudan kepastian hukum.

Konsep dalam RUU Perampasan Aset mengimplementasikan mekanisme unexplained wealth yang telah diterapkan di negara maju. Pendekatan in rem pada konsep unexplained wealth memudahkan negara dalam pengembalian aset kerugian karena menekankan pada aset itu sendiri sebagai subjeknya. Konsep unexplained wealth memungkinkan perluasan subjek regulasi perampasan aset, dimana setiap orang dapat ditinjau asal usul harta kekayaannya apabila ada dugaan kuat ketidaksesuaian harta tersebut dengan sumber penghasilannya. Unexplained wealth tidak hanya menyasar pejabat publik seperti pada konsep illicit enrichment, melainkan juga anggota keluarga atau kerabat pejabat publik serta orang-orang yang dicurigai terlibat dalam kasus organized crime, seperti korupsi, penipuan, pencucian uang, penggelapan pajak, dan penyuapan. Pemberlakuan RUU Perampasan Aset yang menganut konsep unexplained wealth harus diprioritaskan mengingat sektor swasta yang juga marak akan korupsi turut menjadi penyumbang angka kerugian negara.

Australia telah mengimplementasikan regulasi unexplained wealth dalam mekanisme perampasan asetnya dan memiliki nilai yang baik dari UNCAC dalam bidang Criminalisation and Law Enforcement serta peringkat IPK yang jauh di atas Indonesia. Pada setiap yurisdiksi di Australia, terdapat dua mekanisme permohonan terkait dengan pengaplikasian unexplained wealth (Parliament of Australia, 2018):

– Unexplained wealth restraining orders: Proses penyitaan ini guna membatasi kemampuan seseorang untuk membuang atau memindahkan properti yang merupakan subjek permohonan.

– Unexplained wealth orders: Proses ini mengharuskan seseorang untuk membayar jumlah yang ditentukan oleh pengadilan sebagai selisih antara kekayaan total orang tersebut dan kekayaan yang diperoleh secara sah.

Dalam hal ketentuan terkait unexplained wealth, terdapat keseragaman penggunaan ketentuan tanggung jawab terbalik (reverse onus provision) pada setiap yurisdiksi di Australia, mengharuskan pengadilan untuk menganggap semua tuduhan pemohon terhadap harta kekayaan yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya tersebut adalah benar, kecuali termohon dapat menunjukkan hal yang sebaliknya dari dugaan tersebut.

Skema unexplained wealth selanjutnya akan berimplikasi terhadap hukuman yang diterima pelaku tindak pidana korupsi itu sendiri. Mekanisme yang menitikberatkan aset dalam skema unexplained wealth ini akan menjadi langkah preventif terhadap pencegahan tindak pidana korupsi. Selain itu, metode perampasan aset dengan skema unexplained wealth ini akan menutup pintu bagi pelakunya untuk memakai atau mengambil keuntungan dari aset yang didapatnya melalui tindak pidana korupsi tersebut. Dalam perspektif ekonomi, mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan yang tercermin dalam unexplained wealth akan lebih efektif dan efisien.

Berkaca pada kasus korupsi Surya Darmadi, yang ditenggarai sebagai kasus mega korupsi dengan kerugian negara terbesar di Indonesia, Surya Darmadi telah dijerat sebagai tersangka sejak tahun 2019 melalui pengembangan kasus korupsi mantan Gubernur Riau, Annas Maamun, pada tahun 2014. Pada Desember 2020, Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango, masih menegaskan bahwa Surya Darmadi tidak dapat ditemukan dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Kasus penyerobotan lahan negara untuk perkebunan kelapa sawit Grup Duta Palma ini mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar, mencapai Rp104,1 triliun, dengan rincian menurut laporan hasil pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), berasal dari kerugian keuangan negara senilai Rp4,9 triliun dan kerugian perekonomian sebesar Rp99,2 triliun. Mirisnya, biaya pembayaran kerugian perekonomian negara hanya sebesar Rp39 triliun.

Dalam mengadili kasus Surya Darmadi, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan pidana penjara selama lima belas tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar subsidair 6 bulan kurungan. Selain itu, pengadilan turut menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp2,2 triliun dan pembayaran kerugian ekonomi sebesar Rp39 triliun. Jumlah uang pengganti Surya Darmadi tersebut jauh dari kata menutup kerugian negara akibat penggarapan lahan secara ilegal tersebut.

Lamanya penangkapan serta tidak tertutupnya kerugian yang diterima oleh negara dari uang pengganti pada kasus Surya Darmadi menunjukkan polemik nyata penanganan korupsi di Indonesia. RUU Perampasan Aset yang didalamnya terdapat ketentuan metode perampasan aset in rem (dilakukan secara perdata) menjadi regulasi yang lebih efektif dalam mengatasi polemik tersebut. Sekiranya RUU Perampasan Aset ini telah disahkan sedari dulu, kerugian yang diterima negara akibat kasus-kasus korupsi, contohnya kerugian negara dari kasus Surya Darmadi ini, kiranya dapat diminimalisir. Surya Darmadi, yang telah masuk daftar DPO KPK sejak 2019, dapat segera dapat segera ditindak asetnya tanpa harus terhalang fakta bahwa Surya Darmadi yang tak kunjung muncul sejak pemanggilan pertamanya oleh KPK. Lamanya proses penindakan pada kasus-kasus dimana tersangka “hilang” dan sedang dalam proses pencarian memang merupakan implikasi dari mekanisme penindakan korupsi pada UU Tipikor Indonesia saat ini. UU Tipikor mengharuskan untuk menemukan pelakunya untuk dibuktikan terlebih dahulu sebelum akhirnya aset hasil pidananya dapat dirampas. Kasus Surya Darmadi dapat menjadi bukti lamanya proses penindakan terhadap kasus korupsi di Indonesia. Hal ini menjadi bukti pula bahwa pemberlakuan RUU Perampasan Aset dengan paradigma in rem, seperti pada regulasi unexplained wealth yang telah diterapkan di Australia, akan menimbulkan efisiensi dalam penindakan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Kerugian negara yang terus melonjak akibat kasus tindak pidana korupsi, seperti pada kasus mega korupsi Surya Darmadi, menunjukkan betapa ihwalnya pengesahan RUU Perampasan Aset. Meskipun memang telah ada mekanisme perampasan aset dalam UU Tipikor, nyatanya masih terdapat kekosongan hukum yang luput dari mekanisme UU Tipikor saat ini, seperti pada kasus dimana tersangka meninggal hingga tidak ditemukan sebab kabur atau sebab hal lainnya. Hal tersebutnya yang kemudian turut diatur dalam draf RUU Perampasan Aset yang menegaskan bahwa perampasan aset tepat dapat dilakukan pada kasus-kasus tersebut.

Regulasi RUU Perampasan Aset, yang mengusung konsep unexplained wealth dengan pendekatan in rem, memungkinkan penyitaan aset yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya secara sah oleh tersangka. Pendekatan ini akan memungkinkan perampasan aset tanpa harus tergantung pada proses pidana, menghasilkan langkah preventif dalam pemberantasan korupsi karena menutup pintu bagi pelaku untuk dapat memakai dan mengambil keuntungan dari aset yang didapatkannya dari tindak pidana korupsi tersebut.

Implementasi RUU ini juga akan mewujudkan efisiensi dalam penanganan kasus korupsi di Indonesia. Dengan menerapkan paradigma in rem seperti yang telah diterapkan di negara maju seperti Australia, proses perampasan aset dapat dilakukan tanpa harus menunggu proses pidana terhadap pelaku. Dalam kasus Surya Darmadi misalnya, apabila RUU Perampasan Aset ini telah disahkan sedari dulu, hal ini memungkinkan dilakukan perampasan aset dengan lebih cepat, mengingat Surya Darmadi sendiri telah menjadi DPO sejak 2019 dan penindakan terhadap asetnya baru dapat dilakukan pada 2023 setelah ia menyerahkan diri di bandara. Padahal dengan diberlakukannya RUU Perampasan Aset seawal mungkin, kerugian yang diterima oleh negara dari tindak korupsi juga dapat diminimalisir dengan lebih efektif dan efisien.

Pengesahan RUU Perampasan Aset bukan sekadar sebagai langkah konkrit untuk mengatasi ketimpangan antara kerugian negara akibat korupsi dan restitusi yang diterima oleh negara. Akan tetapi, instrumen ini juga dapat menjadi indikasi kuat terhadap komitmen pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi secara menyeluruh dan berkelanjutan. Oleh karena itu, pengesahan RUU Perampasan Aset ini memang merupakan hal yang ihwal dan harus terus diupayakan pengesahannya untuk mewujudkan pemberantasan korupsi yang komprehensif.

PENELITIAN

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan (Puslitbangkumdil) Mahkamah Agung Republik Indonesia. Penjelasan Hukum Tentang Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi.

PUTUSAN PENGADILAN

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor 62/Pid.Sus-TPK/2022/PN Jkt.Pst., Surya Darmadi (2023).

banner 325x300
error: Content is protected !!